Aku pernah mendengar banyak kisah percintaan.. kisah
cinta seorang gadis pada seorang laki-laki tampan yang menjadi idola di
kampusnya. Kisah cinta dua orang sahabat sejak mereka kecil, kisah seseorang
yang terhalang oleh jarak dan waktu juga banyak kisah cinta lain yang begitu
mengaharukan bahkan menyedihkan.
Sama seperti mereka yang punya kisah, aku pun sedang
melukis sebuah kisah cinta dalam hidupku.
10 tahun yang
lalu..
Seragam biru putih yang kukenakan secara jelas
menyebutkan kalau aku masih SMP. Bel pulang yang kutunggu akhirnya mendengarkan
seruanku untuk segera bernyanyi. Tak lama bagiku untuk sampai digerbang sekolah
yang sebenarnya bukan gerbang, hanya pintu pagar kecil setinggi bahuku.
Bangunan sekolah ini belum cukup dana untuk membenahinya yang mulai rengsek,
bahkan untuk sekedar membuat dinding kelas kami terlihat lebih bersih dari
lumut yang terkorek. Didepan gerbang ini, beberapa siswa melakukan hal yang
sama denganku. Menunggu. Menunggu angkot lewat, menunggu mobil abumen, menunggu
teman.. dan aku, menunggu seseorang yang amat sangat ingin selalu kutunggu
kedatangannya sekalipun setiap detik kami bisa bertemu. Kalau boleh jujur, aku
tidak pernah membutuhkan waktu yang lama untuk menunggunya. Seperti hari ini,
aku melihatnya membelokkan motor yang dipakainya di ujung sekolahku.
“sudah
lama?” tanyanya setelah ia membuat motor itu berhenti di depanku
Aku hanya menggeleng sambil tersenyum, langsung saja
aku naik ke atas motor, duduk menyamping dan dia segera memboncengku. Tak
banyak bicara selama perjalanan itu, aku hanya memandang leher belakangnya
kemudian meletakkan kepalaku di punggungnya.
Begitulah setiap hari, dia mengantar dan menjemput
aku sekolah.
7 tahun yang
lalu..
Kini seragamku berganti menjadi putih abu-abu.
Sedikit ada yang aneh mulai saat itu dia tidak lagi mengantar atau menjemput
kalau sekolah. Aku harus jalan kaki kini. Tapi sosok itu tidak akan pernah
tergantikan oleh siapapun. Langkahku pelan menyusuri jalan perumahan siang itu.
Udara panas tidak membuatku berlari untuk cepat sampai ke kost-kost’an atau
berteduh sekedar menghindar dari sinar matahari. Kumainkan sekeping uang 100
rupiah di tanganku. Rasanya aku ingin sekali tertawa kalau mengingat kejadian
itu.
“bapak..
aku minta uang saku..” rengekku pagi itu masih dengan seragam putih merah.
“uangnya
sudah bapak kasih ke ibu semua.. termasuk jatah sakumu..” jawabnya datar
“bukannya tadi sudah dikasih sama ibu?”
“sudah
sih..” jawabku sambil tersenyum “tapi aku ingin bapak yang ngasih aku..”
“sama
aja kan, uang yang dari ibu itu juga dari bapak..”
“bagiku
itu berbeda..”
“apanya
yang berbeda?”
“rasanya..”
sambutku dengan mata yang masih sangat polos kukira.
Siangnya waktu aku akan bermain dengan temanku
sepulang sekolah.
“apa
lagi? Mau minta uang jajan? Nih.. kalau kamu ndak percaya..” bapak membuka
dompet hitam tipis dan kumal miliknya. Aku ikut melongok melihat isinya..
kosong.
“ini?”
seruku melihat ada yang mengganjal di dompetnya. Bapak mengeluarkannya dan aku
melihat dengan seksama sebelum akhirnya kami tertawa berdua.
“hanya
ini.. 100 rupiah..” katanya.
Aku tidak pikir panjang. Ku terima saja koin itu
dari tangannya “ini buat aku.. makasih pak..” kusimpan koin itu disaku celanaku
sambil berlari keluar rumah meninggalkan bapak yang mungkin masih penuh tanya,
pasalnya uang itu hanya cukup untuk membeli 2 biji permen saat itu.
Konyol sekali rasanya mengingat kejadian itu. Tak
terasa aku sampai di depan kostku dan apa yang kulihat ini membuat jantungku
berdebar seoalah aku lelah karena berjalan tadi. Aku masuk dan melewati ruang
tamu.
“sudah
pulang? Kamu sudah ditunggu dari tadi..” suara menggema dari ibu kostku.
Berarti aku tidak salah lihat. Tadi di depan kost itu memang motor milik
seorang yang sangat ku kenal.
“bapak..?”
ia menyambutku dengan senyum bijaksananya.
“bapak
dari rumah sakit di kota mengantar kakekmu tadi. Karena melewati kost-mu jadi
bapak mampir.. dan ini..” disodorkannya dua bungkus roti coklat dan sekilo buah
anggur. Bagaimana dia bisa tahu aku menyukainya? Apa karena saking seringnya
aku merengek dulu. Dulu dia tidak pernah memberikan itu padaku, karena memang
kami bukan dari keluarga yang cukup mampu secara ekonomi. Bahkan kalau dia bisa
melihat aku bisa sampai memakai seragam inipun karena aku mendapat beasiswa.
Ya, salah satu yang bisa ku perjuangankan adalah prestasiku sekalipun aku bukan
yang ter-pintar.
Hanya itu yang dilakukannya, kita jarang bicara
sejak dulu walaupun kami akrab. Segera ia pulang setelah tujuannya menemui
tercapai.
4 tahun yang
lalu..
Di perempatan jalan perbatasan desa, aku seperti
kemabali ke masa lalu dimana aku menunggnya seperti ini. Dan masih seperti
dulu, aku tak perlu lama-lama menunggunya untuk datang.
“sudah
lama?”
Aku hanya menggeleng dan segera naik ke atas motor
yang sama. Memandang kembali leher bagian belakangnya, aku tersentak! Rupanya
rambut yang dulu hitam kini sudah mulai beruban. Aku memeluknya dari belakang
dan menyenderkan kepalaku di bahunya. Aku cukup tinggi sekarang karna sudah
bisa mencapai bahunya bukan hanya punggungnya seperti waktu dulu.
Aku melihatnya tersenyum “capek?” aku hanya
mengangguk.
“bagaimana
kuliahmu? Ah.. sepertinya kau jadi mirip orang kota sekarang..”
“bapak..??
aku tetaplah aku..” gumamku masih sambil memeluknya
“kau
sudah besar, jangan suka memelukku.. tak malukah dilhat orang?”
“tidak..
aku bahkan akan selalu memeluk bapak seperti ini..” ucapku
“nanti
dikira bapak punya pacar lagi.. ku kan sudah gadis sekarang..”
“kalau
begitu ayo kita buat ibu cemburu.. hehehe..” aku tidak mndengar jawaban darinya
tapi aku tahu dia sedang tertawa.
“kasihan
sekali ibu dan adikmu kalau kau liburan dirumah seperti ini..”
“aku
kangen sama bapak..”
Sekarang…
Aku
menunggu pesanan makan siangku, entah lama sekali rasanya tidak datang-datang.
Mungkin karena pelanggan begitu banyak jadi aku dapat antrian sedikit panjang.
Ku keluarkan dompet ungu mungilku saat kudengar suara seorang bapak sedang
mengamen disampingku. Maklum, warung makan di pinggir jalan tidak setenang
restoran berbintang.
“makasih
mbak..” aku hanya mengangguk dan tersenyum membalasnya sebelum akhirnya mereka
pergi. Tanpa sadar aku melihat benda yang sudah lama tersimpan dalam dompetku.
Koin yang setia menemaniku selama ini. 100 rupiah. Warnanya sudah pucat tapi
percayalah, nilainya tidak berubah sama sekali. Tidak pernah berkurang se-sen
pun.
Tak terasa ternyata kedua bola mataku menahan sungai
yang hendak mengalir sedari tadi. Masih terasa sangat jelas ketika ia membenahi
sepatuku waktu aku masih di Taman Kanak-kanak.
“Pakai
sepatumu nak.. nanti bapak gendong waktu menyeberang sungai..”aku diam
melihatnya sibuk membetulkan tali sepatuku. Sekolah Taman Kanak-kanakku menjadi
satu dengan Balai Desa dan harus melewati sungai dulu untuk sampai disana.
Aku sudah di punggung bapak waktu itu. Dia
benar-benar menggendongku, mengantarku sampai di depan sekolah. Tapi mungkinkah
ada yang salah dengan diriku yang masih 5 tahun itu. Aku menahan tangisku dalam
gendongan bapak, aku menahan untuk bicara dengan bapak.
“nanti
bapak jemput lagi ya.. tunggu di pinggir sungai kalau bapak belum datang..” aku
hanya mengangguk sesaat sebelum akhirnya aku hanya bisa melihat punggungnya
dari jauh.
Banyak sekali yang sudah kita lewati bersama selama
ini, banyak hal yang mungkin kita bahas secara tidak sengaja, banyak rasa yang
pernah hinggap dalam hati kita saat kita berdua. Tapi sebanyak apapun itu.. aku
belum sempat mengatakan “maaf.. terimakasih.. aku menyayangi bapak” sebanyak
waktu yang sudah kita tempuh.
Mungkin itu yang ingin ku katakan waktu bapak menggendongku masuk TK, itu yang ingin
ku katakan waktu bapak menjemputku di
SMP, waktu bapak mengunjungiku ketika
aku SMA atau waktu aku bermanja
memeluk erat bapak padahal aku sudah kuliah.
100 rupiah yang kudapat waktu aku SD selalu
mengingatkanku pada bapak. Bukanlah maksudku untuk meminta uang saku lebih dari
bapak saat itu. Aku hanya ingin, tangan bapak sendirilah yang memberi. Aku
tahu, uang saku yang dari ibu itu pun hasil jerih payah bapak, tapi akan lain rasanya kalau aku menerima itu langsung
dari bapak. Itu alasanku menyimpan uang ini, itu adalah pertama kalinya bapak
memberi sesuatu dari tangan bapak sendiri. Selusuh apapun uang ini, tidak akan
pernah membuat nilainya berubah.. sama seperti cintaku pada bapak.
Refleks, tanganku mencari nomor yang sudah sangat
kuhafal di ponselku. Tangan satunya masih memainkan koin 100 rupiah..
“pak..
liburan minggu depan aku pulang ya..”
“…….”
“iya..
aku akan menunggu bapak menjemputku di tempat biasa..”
Menunggu.. ya, aku akan menunggu bapak menjemputku
lagi minggu depan. Tapi aku tahu bapak tidak pernah membuat aku menunggu
terlalu lama. Bapak benar-benar “hadir” dalam hidup kami bukan hanya karena
sebuah tanggungjawab atau kewajiban.. tapi karena satu alasan.. cinta..
100 rupiah akan tetap menjadi 100 rupiah.. karena
cintaku pada bapak juga akan tetap kusebut cinta..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar