Rabu, 08 Mei 2013

Cerpen : 100 Rupiah (Dear..Father)





Aku pernah mendengar banyak kisah percintaan.. kisah cinta seorang gadis pada seorang laki-laki tampan yang menjadi idola di kampusnya. Kisah cinta dua orang sahabat sejak mereka kecil, kisah seseorang yang terhalang oleh jarak dan waktu juga banyak kisah cinta lain yang begitu mengaharukan bahkan menyedihkan.




Sama seperti mereka yang punya kisah, aku pun sedang melukis sebuah kisah cinta dalam hidupku.




10 tahun yang lalu..




Seragam biru putih yang kukenakan secara jelas menyebutkan kalau aku masih SMP. Bel pulang yang kutunggu akhirnya mendengarkan seruanku untuk segera bernyanyi. Tak lama bagiku untuk sampai digerbang sekolah yang sebenarnya bukan gerbang, hanya pintu pagar kecil setinggi bahuku. Bangunan sekolah ini belum cukup dana untuk membenahinya yang mulai rengsek, bahkan untuk sekedar membuat dinding kelas kami terlihat lebih bersih dari lumut yang terkorek. Didepan gerbang ini, beberapa siswa melakukan hal yang sama denganku. Menunggu. Menunggu angkot lewat, menunggu mobil abumen, menunggu teman.. dan aku, menunggu seseorang yang amat sangat ingin selalu kutunggu kedatangannya sekalipun setiap detik kami bisa bertemu. Kalau boleh jujur, aku tidak pernah membutuhkan waktu yang lama untuk menunggunya. Seperti hari ini, aku melihatnya membelokkan motor yang dipakainya di ujung sekolahku.




            “sudah lama?” tanyanya setelah ia membuat motor itu berhenti di depanku




Aku hanya menggeleng sambil tersenyum, langsung saja aku naik ke atas motor, duduk menyamping dan dia segera memboncengku. Tak banyak bicara selama perjalanan itu, aku hanya memandang leher belakangnya kemudian meletakkan kepalaku di punggungnya.




Begitulah setiap hari, dia mengantar dan menjemput aku sekolah.




 




7 tahun yang lalu..




Kini seragamku berganti menjadi putih abu-abu. Sedikit ada yang aneh mulai saat itu dia tidak lagi mengantar atau menjemput kalau sekolah. Aku harus jalan kaki kini. Tapi sosok itu tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Langkahku pelan menyusuri jalan perumahan siang itu. Udara panas tidak membuatku berlari untuk cepat sampai ke kost-kost’an atau berteduh sekedar menghindar dari sinar matahari. Kumainkan sekeping uang 100 rupiah di tanganku. Rasanya aku ingin sekali tertawa kalau mengingat kejadian itu.




            “bapak.. aku minta uang saku..” rengekku pagi itu masih dengan seragam putih merah.




            “uangnya sudah bapak kasih ke ibu semua.. termasuk jatah sakumu..” jawabnya datar “bukannya tadi sudah dikasih sama ibu?”




            “sudah sih..” jawabku sambil tersenyum “tapi aku ingin bapak yang ngasih aku..”




            “sama aja kan, uang yang dari ibu itu juga dari bapak..”




            “bagiku itu berbeda..”




            “apanya yang berbeda?”




            “rasanya..” sambutku dengan mata yang masih sangat polos kukira.




Siangnya waktu aku akan bermain dengan temanku sepulang sekolah.




            “apa lagi? Mau minta uang jajan? Nih.. kalau kamu ndak percaya..” bapak membuka dompet hitam tipis dan kumal miliknya. Aku ikut melongok melihat isinya.. kosong.




            “ini?” seruku melihat ada yang mengganjal di dompetnya. Bapak mengeluarkannya dan aku melihat dengan seksama sebelum akhirnya kami tertawa berdua.




            “hanya ini.. 100 rupiah..” katanya.




Aku tidak pikir panjang. Ku terima saja koin itu dari tangannya “ini buat aku.. makasih pak..” kusimpan koin itu disaku celanaku sambil berlari keluar rumah meninggalkan bapak yang mungkin masih penuh tanya, pasalnya uang itu hanya cukup untuk membeli 2 biji permen saat itu.




Konyol sekali rasanya mengingat kejadian itu. Tak terasa aku sampai di depan kostku dan apa yang kulihat ini membuat jantungku berdebar seoalah aku lelah karena berjalan tadi. Aku masuk dan melewati ruang tamu.




            “sudah pulang? Kamu sudah ditunggu dari tadi..” suara menggema dari ibu kostku. Berarti aku tidak salah lihat. Tadi di depan kost itu memang motor milik seorang yang sangat ku kenal.




            “bapak..?” ia menyambutku dengan senyum bijaksananya.




            “bapak dari rumah sakit di kota mengantar kakekmu tadi. Karena melewati kost-mu jadi bapak mampir.. dan ini..” disodorkannya dua bungkus roti coklat dan sekilo buah anggur. Bagaimana dia bisa tahu aku menyukainya? Apa karena saking seringnya aku merengek dulu. Dulu dia tidak pernah memberikan itu padaku, karena memang kami bukan dari keluarga yang cukup mampu secara ekonomi. Bahkan kalau dia bisa melihat aku bisa sampai memakai seragam inipun karena aku mendapat beasiswa. Ya, salah satu yang bisa ku perjuangankan adalah prestasiku sekalipun aku bukan yang ter-pintar.




Hanya itu yang dilakukannya, kita jarang bicara sejak dulu walaupun kami akrab. Segera ia pulang setelah tujuannya menemui tercapai.




 




4 tahun yang lalu..




Di perempatan jalan perbatasan desa, aku seperti kemabali ke masa lalu dimana aku menunggnya seperti ini. Dan masih seperti dulu, aku tak perlu lama-lama menunggunya untuk datang.




            “sudah lama?”




Aku hanya menggeleng dan segera naik ke atas motor yang sama. Memandang kembali leher bagian belakangnya, aku tersentak! Rupanya rambut yang dulu hitam kini sudah mulai beruban. Aku memeluknya dari belakang dan menyenderkan kepalaku di bahunya. Aku cukup tinggi sekarang karna sudah bisa mencapai bahunya bukan hanya punggungnya seperti waktu dulu.




Aku melihatnya tersenyum “capek?” aku hanya mengangguk.




            “bagaimana kuliahmu? Ah.. sepertinya kau jadi mirip orang kota sekarang..”




            “bapak..?? aku tetaplah aku..” gumamku masih sambil memeluknya




            “kau sudah besar, jangan suka memelukku.. tak malukah dilhat orang?”




            “tidak.. aku bahkan akan selalu memeluk bapak seperti ini..” ucapku




            “nanti dikira bapak punya pacar lagi.. ku kan sudah gadis sekarang..”




            “kalau begitu ayo kita buat ibu cemburu.. hehehe..” aku tidak mndengar jawaban darinya tapi aku tahu dia sedang tertawa.




            “kasihan sekali ibu dan adikmu kalau kau liburan dirumah seperti ini..”




            “aku kangen sama bapak..”




 




Sekarang…




            Aku menunggu pesanan makan siangku, entah lama sekali rasanya tidak datang-datang. Mungkin karena pelanggan begitu banyak jadi aku dapat antrian sedikit panjang. Ku keluarkan dompet ungu mungilku saat kudengar suara seorang bapak sedang mengamen disampingku. Maklum, warung makan di pinggir jalan tidak setenang restoran berbintang.




            “makasih mbak..” aku hanya mengangguk dan tersenyum membalasnya sebelum akhirnya mereka pergi. Tanpa sadar aku melihat benda yang sudah lama tersimpan dalam dompetku. Koin yang setia menemaniku selama ini. 100 rupiah. Warnanya sudah pucat tapi percayalah, nilainya tidak berubah sama sekali. Tidak pernah berkurang se-sen pun.




Tak terasa ternyata kedua bola mataku menahan sungai yang hendak mengalir sedari tadi. Masih terasa sangat jelas ketika ia membenahi sepatuku waktu aku masih di Taman Kanak-kanak.




            “Pakai sepatumu nak.. nanti bapak gendong waktu menyeberang sungai..”aku diam melihatnya sibuk membetulkan tali sepatuku. Sekolah Taman Kanak-kanakku menjadi satu dengan Balai Desa dan harus melewati sungai dulu untuk sampai disana.




Aku sudah di punggung bapak waktu itu. Dia benar-benar menggendongku, mengantarku sampai di depan sekolah. Tapi mungkinkah ada yang salah dengan diriku yang masih 5 tahun itu. Aku menahan tangisku dalam gendongan bapak, aku menahan untuk bicara dengan bapak.




            “nanti bapak jemput lagi ya.. tunggu di pinggir sungai kalau bapak belum datang..” aku hanya mengangguk sesaat sebelum akhirnya aku hanya bisa melihat punggungnya dari jauh.




Banyak sekali yang sudah kita lewati bersama selama ini, banyak hal yang mungkin kita bahas secara tidak sengaja, banyak rasa yang pernah hinggap dalam hati kita saat kita berdua. Tapi sebanyak apapun itu.. aku belum sempat mengatakan “maaf.. terimakasih.. aku menyayangi bapak” sebanyak waktu yang sudah kita tempuh.




Mungkin itu yang ingin ku katakan waktu bapak menggendongku masuk TK, itu yang ingin ku katakan waktu bapak menjemputku di SMP, waktu bapak mengunjungiku ketika aku SMA atau waktu aku bermanja memeluk erat bapak padahal aku sudah kuliah.




100 rupiah yang kudapat waktu aku SD selalu mengingatkanku pada bapak. Bukanlah maksudku untuk meminta uang saku lebih dari bapak saat itu. Aku hanya ingin, tangan bapak sendirilah yang memberi. Aku tahu, uang saku yang dari ibu itu pun hasil jerih payah bapak, tapi akan lain rasanya kalau aku menerima itu langsung dari bapak. Itu alasanku menyimpan uang ini, itu adalah pertama kalinya bapak memberi sesuatu dari tangan bapak sendiri. Selusuh apapun uang ini, tidak akan pernah membuat nilainya berubah.. sama seperti cintaku pada bapak.




Refleks, tanganku mencari nomor yang sudah sangat kuhafal di ponselku. Tangan satunya masih memainkan koin 100 rupiah..




            “pak.. liburan minggu depan aku pulang ya..”




            “…….”




            “iya.. aku akan menunggu bapak menjemputku di tempat biasa..”




Menunggu.. ya, aku akan menunggu bapak menjemputku lagi minggu depan. Tapi aku tahu bapak tidak pernah membuat aku menunggu terlalu lama. Bapak benar-benar “hadir” dalam hidup kami bukan hanya karena sebuah tanggungjawab atau kewajiban.. tapi karena satu alasan.. cinta..



100 rupiah akan tetap menjadi 100 rupiah.. karena cintaku pada bapak juga akan tetap kusebut cinta..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar