Rabu, 24 September 2014

Ohayou Sun! -1/2-

Note : cerita yang sudah lama kutulis sebelum akhirnya aku mengenal fanfic.. dan setelah ku baca ulang, berulang dan berulang kali.. yang ada di otakku tak lain tak bukan hanya Donghae dan Donghae… so, cerita ini bisa jadi fanfic juga ternyata..
“Ohayou Sun” With Cast :
Yuri                : Vea Vanezha
Donghae        : Radhe Kia
Eunhyuk        : Raska Kai
Heechul         : Bobby by
Yoona              : Rista
Sungmin         : Gilang
Siwon             : Vino
Seohyun         : Cherry
Ryeowook     : Nuno
and Setting….place… replace… with “all about S.E.O.U.L”

“Dibalik kertas”_OHAYOU SUN_
-Vea Vanezha-
Kehidupan tidak ada yang bisa menebak bagaimana ia akan membawa seseorang dimasa depannya. Aku juga tahu itu, bahkan hal itu terkadang membuatku takut akan sebuah masa depan. Mungkinkah happy ending seperti kebanyakan sinetron? Atau malah menjadi sad ending dengan sebuah kegagalan? Tapi aku tak kan menyerah, seperti pagi ini.. ohayou Sun!! Sinarnya pagi ini membawa semangat baru untukku menjalani hari ini.
            “Vea... jadi berangkat bareng gak?” suara dibalik pintu kamarku
            “ya, tungguin bentar!” segera saja aku berlari keluar kamar menuruni tangga mengejarnya sebelum aku ditinggalnya.
Ya, namaku Vea Vanezha. Heran sebenarnya ada gadis desa yang punya nama secantik aku.. (jadi GR..) sudah hampir tiga tahun aku di kota ini untuk kuliah dan selama itu aku tinggal bersama tante, saudara dari ibu.
**_**
Dribel bola basket dilakukannya dengan sangat indah, ya tentu saja siapa sih yang tidak mengenalnya di kampus ini. Namanya Raska Kai Aditya, cowok cakep idola para cewek, gayanya super perfect dari segala gaya. Disudut ruangan lain, terdengar jari jemari mahir memainkan piano dengan sangat lincah. Kali ini namanya Radhe Kia Aditya, tepatnya ia adalah adik kembar Raska. Raska lahir sepuluh menit lebih dulu sebelum Radhe, 22 tahun lalu. Banyak hal yang membuatnya berbeda dari Raska. Setidaknya begitulah kata orang, kembar tak berarti semua harus sama. Dan bersama merekalah aku tinggal selama ini, ya! Kita adalah saudara sepupu.
Masih ada satu orang lagi, Bobby Bayu Arga. Dia sepupu kami juga dari keluarganya Om. Bukan seorang yang serius tapi sangat dewasa dan bijaksana dalam menyikapi kelakuan kami yang seringkali kanak-kanak. Dia bagai kakak bagi kami bertiga sekalipun jarak umur kami hanya terpaut satu tahun.

-Radhe Kia-
            Aku sebel aja kalau lihat bunda selalu belain Raska ketimbang aku. Padahal kita sama-sama anak ayah dan bunda. Kendati demikian jawaban bunda tetap sama
            “Radhe, contoh Kaka!!” begitulah panggilan kecil Raska
“Dia teladan yang baik. Lihat itu lemari depan penuh dengan piala-piala Raska” ceramah bunda yang tak pernah berubah
Aneh memang, kita bukan anak kecil lagi. Tapi tetap saja bagi bunda, Raska adalah anak manisnya yang akan dijaganya dengan ketat bak guci yang mudah pecah hingga harus ditempatkan senyaman mungkin bahkan kalau bisa dihindarkan dari jangkauan anak-anak nakal seperti aku.

-Raska Kai-
            Hidup itu santai saja, seperti aku!! Semua yang ku ingin bisa kuraih dengan usaha yang tak terlalu usaha. Modal tampang udah ada dari lahir, pinter, jago basket dan pasti idaman banyak cewek. So, aku tak perlu lagi repot-repot pikirin hidup ini. Yang pasti, jalani saja toh semua sudah ada yang mengatur.
            “udah bunda, Deky emang gitu anaknya. Di nasehati berapa kalipun pasti ujung-ujungnya gak bakal didengar.. tahu sendiri bunda, dia kan agak aneh” aku selalu capek saat bunda mulai ngomel lagi. Padahal masalahnya cuma gara-gara Deky, panggilan kecil untuk Radhe.

-Bobby By-
            Heran kenapa semua orang dirumah ini gak ada yang bener sich? Ribut terus kerjaannya.
            “kak Bobby, jangan diam aja donk. Kasih pendapat gitu..”
            “pendapat apa Ve? Semua emang dasarnya sulit dikasih tahu juga..”

-Ohayou Sun-
Dengan kondisi kacau, cerita inipun harus dimulai walau tak jelas sebenarnya bagaimana jalan cerita ini??
            Udara panas menyelimuti kota akhir-akhir ini. Ayah sempat sebel ketika lampu merah menyalah membuatnya harus menghentikan mobil Avanza Silver miliknya sepulang dari kerja sore itu. Tepat saat itu juga suara bising anak pengamen terdengar dari luar kaca mobilnya.
            “heran.. makin hari bukannya makin maju malah makin banyak pengamen jalanan..”
            “namanya juga ibukota, pak..” sahut pak Mamat sopir pribadi Ayah
            “lihat saja itu Mat, harusnya mereka sekolah.. atau kerja yang layak..”
            “mau kerja apa, pak? Persaingan makin berat, semua serba uang..”
Ayah menghela nafas mengiyakan kata pak Mamat.. sebelum mobil melaju lagi, masih ada sekelompok pengamen.
            “Radhe?!” seru Ayah
Yang dipanggilnya Radhe langsung lari begitu melihat Ayah. Kontan saja ayah terkejut, pak Mamat yang tadinya konsentrasi di depan ikut menoleh ke arahnya.
            “ada apa, pak?”
            “kau lihat pengamen barusan? Mirip sekali dengan Radhe. Atau jangan-jangan itu memang dia..”
            “mana mungkin itu Radhe, buat apa dia mengamen?”
            “terus kalau bukan kenapa dia lari begitu aku memanggilnya?”
            “ah, sudalah pak.. itu pasti bukan Radhe” tenang pak Mamat sambil mengemudikan mobilnya lagi.

            Vea berlari kecil ke kamar Radhe sambil menenteng secarik kertas tak jelas, mendobrak keras pintu kamar yang tak terkunci dengan sedikit tergesa.
            “Vea!” Radhe cukup kaget hingga ia harus bangun dari tidurnya yang sebenarnya tidak sedang terlelap disamping boneka kangurunya.
            “Deky, aku punya syair.. tinggal tugas kamu yang cari nadanya” disodorkannya kertas yang sedari tadi dipegangnya
Deky menerima dan sedikit membaca “lumayan Ve, nanti deh aku cari nadanya..”
            “ok! Eh, gimana hasilnya tadi?”
            “sstt...!!” Radhe meletakkan jari telunjuknya didepan mulut
            “jangan keras-keras!! Tadi hampir ketahuan Ayah, untung aku langsung lari”
            “terus?! Ayah Om curiga gak?” tanya Vea
            “gak tahu, makanya mulai skarang mesti hati-hati!!”
            “siip..” Vea mengangkat jempolnya “aku keluar dulu” sembari ia pergi dari kamar Radhe.

Diruang tamu sore itu, Vea melihat Om dan Tantenya.
            “Vea!!”
            “Bunda tante? Ayah om?” panggilan manisya untuk Tante dan Om
            “tadi Bapak kamu telphone, katanya uang buat beli buku udah ditransfer. Jangan lupa besok di cek” terang Ayah om
            “iya,. besok Vea ke ATM”

Ruang makan selalu ribut tiap kali Raska minta ini itu. Bukan apa-apa sich, cuma bikin sebel orang disebelahnya saja. Kali ini yang duduk disebelah Raska adalah Radhe. Spontan saja mereka saling adu mulut.
            “manja banget sich? Gitu aja minta di ambilin. Punya tangan buat apa?”
            “kamu kan yang dekat.. minta tolong doank, gak mau?”
Kalau sudah begini hanya bunda yang bisa melerainya. Aneh memang melihat mereka berdua. Bagai anjing ketemu kucing!!
Raska yang sok keren, tapi memang sebenarnya dia sangat keren. Gimana gak? Penampilan adalah yang utama baginya. Dan tentu saja mendukungnya menjadi incaran banyak cewek. Namun tak satupun yang bisa merebut hatinya. Beda dengan Radhe tipe cowok yang setia. Belum ada satu cewek yang menarik hatinya semenjak dia kehilangan Ghea. Ghea mengalami kecelakaan dan tragisnya ia meninggal di tempat kejadian membuat Radhe shock berat.

(lagu : Kesepian_Dygta, selama Vea merenung)-(at least i still have you - suju m)
“Vea, kenapa lagi?” Radhe menemani Vea duduk di ayunan belakang rumah
“biasa, nasib yang tak bisa diajak kompromi..” jawabnya datar
“ha? Jangan bilang kamu suka cowok lagi tapi ternyata waktu PDKT dia udah punya cewek?!” tebaknya
“begitulah...” Vea putus harapan
“Ve, aku kasih tahu kamu.. biarpun cewek suka cerita happy ending tapi gak semua kehidupan itu akan happy ending. Yang penting gimana kita bisa mengahargai perjalanan hidup ini..”
“niscaya kita bisa merubah sad ending menjadi happy ending..” Vea mengikuti kalimat terakhir Radhe hingga mereka mengucapkannya bersamaan.
“udah hafal aku dengan kalimat kamu yang seperti itu..”
Radhe hanya tersenyum tipis, sesaat kemudian ia berdiri tegak. Vea sempat terkejut melihatnya, namun tak menyempatkan diri untuk bertanya.
            “Vea, ayo!! Hari ini kita harus ke studio latihan bareng anak-anak..”
            “ups.. sorry aku lupa!” dikejarnya Radhe yang sudah lebih dulu jalan
Tak banyak yang tahu, termasuk orang-orang dirumah kalau Radhe dan Vea anggota sebuah band kecil yang dibangunnya bersama anak-anak jalanan. Bahkan mereka punya gubuk kecil sebagai tempat tinggal bagi anak-anak jalanan dan tempat belajar mereka. Tentu saja semua ini tanpa sepengetahuan Ayah sama Bunda. Bukan apa-apa, hanya saja Radhe bukanlah orang yang suka dengan pujian. Ia hanya ingin mereka bisa punya masa depan suatu hari kelak.

            “sorry telat..”
            “yang lain juga ada yang belum datang kok”
            “kemana?!”
            “katanya ngejar setoran, kalau gak Bang Li bisa marah..” terang Nuno
Radhe bernafas panjang “belum selesai juga urusan dengan Bang Li?”
            “kita ngamen lagi hari ini, kita selesaikan sekarang..” ujar Vea
Beginilah masalah yang sering mereka hadapi, mereka harus setor sampai hutang mereka lunas.
Radhe beranjak dari tempat itu, mengajak teman-temannya ke perempatan tempat mereka biasa ngamen.
Selang beberapa saat, Radhe terlihat berlari membisikkan sesuatu pada Vea.
            “Deky! Apaan sich?”
            “Ve, ada mobil Ayah..”
Vea mengikuti berjalan dibelakang Radhe tanpa komentar. Dan kembali lagi setelah lampu hijau menyalah. Hari ini mungkin mereka bisa menghindar dari Ayah, namun entah sampai kapan mereka akan menyembunyikan hal ini. Takutnya nanti Ayah malah marah besar bukannya menghargai perjuangan mereka.

           
Radhe diam menatapnya dan berusaha tak mengedipkan mata barang sejenak saja. Tangan yang terulur dari kaca pintu mobil lah yang membuatnya demikian. Masih sempat juga ia melihat senyum yang diberikan untuknya. Mukanya pucat pasi seketika itu juga.
            “Deky, kenapa denganmu?”
            “Ve, entah kau percaya atau tidak yang jelas aku melihat senyum Ghea barusan..”
            “kamu sakit?” Vea meletakkan punggung tangannya di kening Radhe
            “percaya aku Ve, sekali ini saja.. aku benar-benar melihatnya..”
            “hhmm..”
            “cewek barusan.. di mobil itu, senyumnya mirip banget sama Ghea..”
            “mungkin benar, tapi harus kau ingat kalau Ghea tidak akan pernah kembali. Dia akan kembali lewat orang lain suatu saat nanti ketika kau sudah bisa untuk melupakannya..”
            “baik sekali kalimatmu! Akan ku ingat..” Radhe tersenyum berusaha meremehkan
Vea hanya bisa melotot padanya. “lihat saja nanti..”
Radhe mengangguk cuek.
           
            Kenapa juga Raska dan Radhe tidak pernah bisa akur. Tidak ada yang mau berusaha untuk mengalah atau memahami satu sama lain. Raska yang selalu ingin menjadi lebih baik dari Radhe, juga Radhe yang serba cuek. Dasar orang aneh, udah sama-sama gede masih saja kekanakan. Raska terlalu dimanja Bunda selama ini. Radhe lebih suka jadi orang yang mandiri sedikit membuatnya lebih dewasa ketimbang Raska.
(lagu : Bunda_Melly mengalir lembut)
            “Bunda, kenapa juga Bunda manja-in Kaka?” ketika melihat Bunda masuk kamarnya
            “bukan begitu maksud Bunda..”
            “kalau begitu?” Radhe sambil meraih boneka kangurunya
            “kamu benar ingin tahu?” bunda berharap Radhe mendengarnya
            “boleh!!”
            “beberapa hari setelah kelahiran kalian, dokter bilang kalau salah satu diantara kalian mungkin akan sedikit terganggu masalah kesehatan. Dan waktu itu Kaka tiba-tiba sakit..” jelas Bunda
            “Radhe mengerti sekarang” helanya sambil sedikit menundukkan kepala “jadi Bunda sangat memperhatikan Kaka karena itu? Terus apa kata dokter tentang ini?”
            “Bunda tidak pernah ke dokter, Bunda takut soal diagnosa..”
            “kalau Radhe yang sakit, apa Bunda melakukan hal yang sama kemudian cuek dengan Kaka?” tanya Radhe bagai bumerang bagi bunda
            “jangan bertanya seperti itu. Bunda ini sayang sama kalian.. hanya mungkin..”
            “sudah bunda, Radhe sudah cukup puas mendengarnya.. maaf!”
Bunda terdiam sesaat. “Bunda keluar dulu..”

            Ok! Stop sampai disini! Cerita ini harus dimulai dengan alur yang sebenarnya. Cerita tentang sebuah perjuangan harus dengan pengorbanan.

                                                                                                   
(lagu : Mengenangmu_Kerispatih mulai dari reff)-(memories-suju)
            Radhe membuka lagi kardus kecilnya yang berisi banyak kenangannya bersama Ghea. Matanya mulai berkaca-kaca ketika jemari tangannya menyentuh foto Ghea yang masih disimpannya rapi dalam album. Menjadi hal yang sulit ketika ia harus melepaskan dan melupakan Ghea secara mendadak. Selama ini Ghea menjadi teman yang setia menemaninya dikala ia merasa tidak betah dirumahnya sendiri dengan berbagai problem. Ghea juga lah yang mampu membuatnya menjadi orang yang dewasa mengambil sikap.
_kenangan akan Ghea melintas dalam benaknya_
Radhe buka tipe cowok yang dengan gampang melupakan sesuatu, bahkan dia sangat menghargai sesuatu sekecil apapun itu. Baginya semua itu melalui sebuah perjuangan dan butuh pengorbanan.
            “Ghea, aku belum paham kenapa kau harus pergi.. bahkan sampai saat ini, kenangan akan kita menjadi mimpi buruk bagiku..”
            “aku tak sanggup memejamkan mata lagi ketika bayanganmu hadir dalam tidurku.. aku takut.. ingin aku melawan hati, aku ingin bangun dari mimpi bahwa kamu telah pergi.. untuk selamanya..”
            “aku mohon Ghe, katakan padaku kenapa kamu harus pergi.. dan juga katakan padaku, apa yang mesti ku lakukan tanpamu kini..”
Lama sekali ia terpuruk dalam kesedihan dan keputusasaan ini.
            “Radhe Kia..!!” suara Vea dari balik pintu
            “Vea?! Sejak kapan..?”
            “baru saja..” Vea mendekat “Dhe.. kamu gak bisa terus kayak gini, jangan jadi cowok yang lemah donk. Harusnya kamu ajari aku gimana caranya untuk tetap kuat..”
            “maksudnya?”
            “sudah dua tahun Ghea pergi, dia tentunya tak ingin kau seperti ini. Saatnya kau menatap tuch masa depan.. aku yakin cowok sebaik kamu pasti akan dapat cewek yang baik juga, bukan kah kamu pernah bilang kalau happy ending ditangan kita?”
            “satu lagi.. ingat, Ohayou Sun!!”
Radhe terdiam, sesaat ia memeluk Vea erat-erat
            “Vea..! makasih yach, kamu udah nemenin aku selama ini..”
            “Deky apaan sich? Lepas donk!!”
            “ups.. sory!” Radhe Cuma senyum kecil
            “dasar..!” ujar Vea “udah aku keluar, sebagai bayaranya ntar temani aku beli bunga” lanjut Vea sambil keluar kamar Radhe.

Didepan toko bunga Radhe ambil tempat parkir motor sebelum ia mengejar Vea. Seperti toko bunga lain, toko bunga ini sama saja. Yang membuatnya beda hanya kebanyakan bunga disini adalah bunga melati. Tertata rapi dalam rangkaiannya membuatnya lebih indah bahkan sangat indah untuk dipandang. Setiap orang yang melihatnya akan langsung tertarik untuk membeli bunga itu.
Seorang penjaga toko menyapa Radhe.
            “mau cari bunga seperti apa mas?”
            “tidak, hanya menemani..” Radhe menghentikan perkataannya ketika ia menoleh ke arah penjaga toko. Bagaimana tidak? Dia cewek yang waktu itu dilihatnya di jalan saat dia ngamen. Dan yang lebih beralasan lagi karena cewek ini mirip sekali dengan Ghea.
            “aku beli ini..” seru Vea menghampiri mereka
            “sebentar Ve, aku rangkai dulu..”
            “gak usah, aku lebih suka seperti ini..” kemudian mereka pergi setelah Vea selesai membeli bunga itu.

            “kamu kenal penjaga toko bunga tadi” tanya Radhe masih sambil membawa motornya
            “kami berteman sejak aku sering ke tokonya”
            “oh, gitu ya”
            “ya, kenapa?”
            “gak, Cuma ingin tahu namanya siapa? Dia cewek yang waktu itu aku bilang ke kamu. Dia...”
            “mirip Ghea maksud kamu?” potong Vea “namanya Rista”
Mendengar jawaban Vea, Radhe hanya diam. Dia tahu, Vea bakal ngoceh lagi kalau dia ungkit masalah Ghea. Kapan aku bisa bernapas tanpamu? Batin Radhe.

Raska pulang dengan sebuah piala ditangannya. Entah piala apa lagi itu, yang pasti karena piala-pialanya dia makin tenar saja dirumah ini.
“Bunda tidak menyesal membesarkanmu..” sanjung bunda
“jadi Bunda menyesal membesarkan aku? Karena aku tidak sehebat Kaka?” tanya Radhe yang tak sengaja mendengar perkataan bunda.
“Radhe, bukan begitu maksud Bunda..”
“sudah Bunda, Radhe paham kok..” suara lirihnya sambil berjalan masuk kamar
“apa maksud Deky kalau dia paham, Bunda?” giliran Raska bertanya
“mana Bunda tahu, mungkin dia paham memang seharusnya dia juga bisa seperti kamu” jelas bunda
“Bunda, kita bukan anak kecil lagi.. kita sudah kuliah. Bunda sama Ayah tahu itu..”
“iya.. tak seharusnya bunda bersikap seperti itu”
“bunda,. Bunda udah benar kok. Bunda sama Ayah adalah orangtua terbaik..” kata Raska tulus. Bunda hanya mengangguk di ikuti senyum tipisnya.
Raska masuk kamar Radhe.
            “Deky, kenapa kau bicara seperti itu pada bunda? Kurang apa kasih sayang bunda selama ini?”
            “tahu apa kamu?”
            “tentu saja aku tahu..”
            “bagaimana mungkin?”
            “Deky! Aku ini kakak kamu.. bagaimana aku tidak akan tahu semua soal adik ku?”
            “kau masih merasa sebagai seorang kakak? Atau kau cuma ingin..”
            “ingin apa? Ha..!? Katakan!!”
Radhe tak meneruskan kata-katanya. Menjadi pertengkaran tak jelas nantinya kalau mereka menggunakan ego masing-masing. Dia mundur dan tertunduk.
            “maaf Ka, mungkin emang aku yang kekanakan..”
            “apa maksudmu?”
            “aku kan sudah minta maaf.. udah dong!!” pinta nya
            “ok! Tapi lain kali kalau ngomong itu dipikir dulu..” ujar Raska sambil keluar kamar Radhe dan menutup pintu keras-keras.
Ada benarnya kata Raska, mungkin Radhe memang tak semestinya seperti tadi. Bagaimanapun juga Bunda sama Ayah sudah membesarkannya sampai sedewasa ini. Tak baik juga harus selalu merasa di cuekin dan iri sama Raska. Mungkin ini demi kebaikan mereka juga. Radhe bukan orang lemah seperti Raska yang harus dijaga terus. Ia masih bisa melakukan banyak hal lagi. Ya, begitulah pikir Radhe setelah Raska pergi..

Seperti kebiasaan mereka, berada berjam-jam lamanya di perpustakaan kecil yang sengaja mereka bangun di ruang bekas gudang di belakang rumah. Duduk diam sambil membuka lembar demi lembar buku ditangannya tanpa dibaca.
“disini juga?” tegur Vea
“hm...”
Vea mendekatkan diri dengannya kemudian duduk melantai disebelahnya. Disudut ruangan dekat jendela kaca.
            “Deky, gimana kalau aku kenalkan kamu sama Rista?”
            “ha..?”
            “iya, biar sakit mu itu agak sembuh”
            “apa? Agak sembuh? Kenapa gak sembuh sekalian?”
            “nah..! bagus bukan?!”
Radhe melirik Vea “paling-paling nanti juga minta imbalan..”
            “ya seikhlasnya saja..”
            “maksudnya?!” Radhe melotot
Vea balik melotot ke arahnya hingga keduanya saling bersitegang beberapa saat. Sebelum akhirnya keduanya malah saling terdiam, dan... tertawa ngikik.
Vea memukul Radhe dengan buku yang dipegangnya. Radhe tak mau kalah, ia balik memukul. Dibalas lagi, memukul lagi hingga berulang dan keduanya makin ribut tak karuan.. kemudian berhenti dan duduk saling bersandar pada punggung lawannya, mengambil napas panjang dan sesekali Radhe masih memukul pelan kepala Vea dengan buku dari belakang.

















 
           
“Vea, cari bunga lagi?”
            “ehm, gak juga. Cuma tadi kebetulan lewat sini terus ku pikir aku ingin mampir dulu sebentar..”
            “oh..” jawab gadis itu
            “eh, kenalin nich sepupu aku..”
Lalu keduanya terlihat saling berjabat tangan.
            “Radhe..”
            “Rista..” senyumnya “bukankah kita pernah ketemu? Waktu itu kamu juga kan yang ngantar Vea kesini?”
Radhe menggangguk “iya..”
            “aku lihat bunga dulu, kalian ngobrol aja ya..” Vea meninggalkan mereka berdua dan beranjak pergi pura-pura melihat-lihat rangkaian bunga.
Cukup lama juga hingga akhirnya Vea mengajak Radhe pulang.
            “Ve, makasih yach..”
            “tunggu! Makasih buat apa? Jangan bilang kalian..”
            “gak.. kita kan baru kenal. Anaknya lumayan asyik. Yang pasti gak tukang usil kayak kamu” seru Radhe dengan tetap membawa motornya
            “ok, aku terima. Terus?”
            “lihat saja nanti..”
            “baiklah.. paling gak kamu ada usaha buat lupain Ghea”
            “gak bisa Ve!” serunya “Ghea akan selamanya aku ingat, hanya saja.. maksudku Ghea akan tetap jadi kenangan terindah yang gak bisa ku lupain. Tapi aku juga harus bisa maju ke masa depan aku..”
Vea manggut-manggut “good..good.. like this” diangkatnya jempol tangan “ itu baru Radhe Kia, sepupu Vea..”
            “gokil juga..”
            “he..he..”

Raska menuruni tangga menuju ruang makan malam itu. Kali ini Bobby yang duduk didekatnya. Sambil makan ayah angkat bicara.
            “besok kita akan melihat Raska dalam pertandingan basket.. sempatkan waktu kalian..”
            “tapi Ayah, besok..”
            “sempatkan waktu..”potong ayah
            “walah.. ayah ini. Kan cuma tanding basket..” sela Radhe
            “daripada kamu..”
            “ya, itu kan karena Ayah belum tahu aja..”
            “belum tahu apa? Ayah tahu semua.. buktinya sampai sekarang..”
            “maaf Ayah.. Radhe udah tahu apa yang akan Ayah katakan..” sambil berdiri
            “Deky, mau kemana?”
            “aku minta maaf.. aku sudah kenyang..” akhirnya ia melangkah pergi ke arah kamarnya meninggalkan makanannya yang masih utuh begitu saja.

Bukan saja soal Ghea yang baginya masih sulit dilupakannya, melainkan juga soal perasaannya selama ini dimana tak ada yang memahaminya, mencoba mengerti dirinya dan membantunya kecuali Vea. Bobby pun sibuk dengan persiapan skripsinya.
“bagaimana aku menatap matahari pagi kalau malam selalu melingkupi dan menjadi kabut di hari-hariku? Sedangkan aku ingin sekali melihat awan dan merasakan sejuknya embun..” batin Radhe.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar